BAB 9
WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
1. Dasar Hukum Wajib Daftar Perusahaan
Pertama kali diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 23 Para persero firma diwajibkan
mendaftarkan akta itu dalam register yang disediakan untuk itu pada
kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri) daerah hukum tempat
kedudukan perseroan itu. Selanjutnya pasal 38 KUHD : Para persero diwajibkan
untuk mendaftarkan akta itu dalam keseluruhannya beserta ijin yang diperolehnya
dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad van justitie
dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar
resmi.
Dari kedua pasal di atas firma dan
perseroan terbatas diwajibkan mendaftarkan akta pendiriannya pada pengadilan
negeri tempat kedudukan perseroan itu berada, selanjutnya pada tahun 1982 wajib
daftar perusahaan diatur dalam ketentuan tersendiri yaitu UUWDP yang tentunya
sebagai ketentuan khusus menyampingkan ketentuan KUHD sebagai ketentuan umum.
Dalam pasal 5 ayat 1 UUWDP diatur bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan
dalam Daftar Perusahaan di kantor pendaftaran perusahaan.
Pada tahun 1995 ketentuan tentang PT
dalam KUHD diganti dengan UU No.1 Tahun 1995, dengan adanya undang-undang
tersebut maka hal-hal yang berkenaan dengan PT seperti yang diatur dalam pasal
36 sampai dengan pasal 56 KUHD beserta perubahannya dengan Undang-Undang No. 4
tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku.
Sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan UUWDP pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menperindag
No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menperindag
No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta
Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan
Wajib Daftar Perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan
bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatan kualitas
pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan
pendaftaran perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran
daftar perusahaan serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP. (I.G.Rai
Widjaja, 2006: 273)
Jadi dasar penyelenggaraan WDP
sebelum dan sewaktu berlakunya UUPT yang lama baik untuk perusahaan yang
berbentuk PT, Firma, persekutuan komanditer, Koperasi, perorangan ataupun
bentuk perusahaan lainnya diatur dalam UUWDP dan keputusan menteri yang
berkompeten.
2. Ketentuan Wajib Daftar Perusahaan
Dasar Pertimbangan Wajib Daftar
Perusahaan :
a. Kemajuan
dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan perkembangan
kegiatan ekonomi pada khususnya yang menyebabkan pula berkembangnya dunia
usaha dan perusahaan, memerlukan adanya Daftar Perusahaan yang merupakan
sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai
identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang
didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara Republik
Indonesia.
b. Adanya
Daftar Perusahaan itu penting untuk Pemerintah guna melakukan pembinaan,
pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena
Daftar Perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar
dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan dan
kepastian berusaha bagi dunia usaha,
c. Bahwa
sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas perlu adanya Undang-undang
tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Ketentuan Umum Wajib Daftar
Perusahaan
Dalam Pasal 1 UU Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, ketentuan-ketentuan umum
yang wajib dipenuhi dalam wajib daftar perusahaan adalah :
a. Daftar
Perusahaan
adalah daftar catatan resmi
yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan
atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib
didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang
berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Daftar catatan resmi terdiri
formulir-formulir yang memuat catatan lengkap mengenai hal-hal yang wajib
didaftarkan.
b. Perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba. Termasuk juga perusahaan-perusahaan yang
dimiliki atau bernaung dibawah lembaga-lembaga sosial, misalnya, yayasan.
c. Pengusaha
adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan sesuatu jenis perusahaan. Dalam hal pengusaha perseorangan,
pemilik perusahaan adalah pengusaha yang bersangkutan.
d. Usaha
adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang
perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba
e. Menteri
adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang perdagangan.
3.
Tujuan dan Sifat Wajib Daftar Perusahaan
Daftar Perusahaan bertujuan mencatat
bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan
merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai
identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum
dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha ( Pasal 2 ).
Tujuan daftar perusahaan :
a. Mencatat
secara benar-benar keterangan suatu perusahaan meliputi identitas, data
serta keterangan lain tentang perusahaan.
b. Menyediakan
informasi resmi untuk semua pihak yangberkepentingan.
c. Menjamin
kepastian berusaha bagi dunia usaha.
d. Menciptakan
iklim dunia usaha yang sehat bagi dunia usaha.
e. Terciptanya
transparansi dalam kegiatan dunia usaha.
Daftar Perusahaan bersifat terbuka
untuk semua pihak. Yang dimaksud dengan sifat terbuka adalah bahwa Daftar
Perusahaan itu dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai sumber informasi
(
Pasal 3 ).
4.
Kewajiban Pendaftaran
a. Setiap
perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan.
b. Pendaftaran
wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan
atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang
sah.
c. Apabila
perusahaan dimiliki oleh beberapa orang, para pemilik berkewajiban untuk
melakukan pendaftaran. Apabila salah seorang daripada mereka telah
memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan daripada kewajiban tersebut.
d. Apabila
pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di
wilayah Negara Republik Indonesia tidak bertempat tinggal di wilayah
Negara Republik Indonesia, pengurus atau kuasa yang ditugaskan memegang
pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan
( pasal 5 ).
5.
Cara dan Tempat Serta Waktu Pendaftaran
Menurut Pasal 9 :
- Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
- Penyerahan formulir pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan, yaitu :
- di tempat kedudukan kantor perusahaan;
- di tempat kedudukan setiap kantor cabang, kantor pembantu perusahaan atau kantor anak perusahaan;
- di tempat kedudukan setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian.
- Dalam hal suatu perusahaan tidak dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat b pasal ini, pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan di Ibukota Propinsi tempat kedudukannya. Pendaftaran wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya. Sesuatu perusahaan dianggap mulai menjalankan usahanya pada saat menerima izin usaha dari instansi teknis yang berwenang ( Pasal 10 ). Pendaftaran Perusahaan dilakukan oleh Pemilik atau Pengurus/Penanggung Jawab atau Kuasa Perusahaan yang sah pada KPP Tingkat II ditempat kedudukan perusahaan. Tetapi kuasa tersebut tidak termasuk kuasa untuk menandatangani Formulir Pendaftaran Perusahaan.
6.
Hal-hal yang Wajib Didaftarkan
Hal-hal yang wajib didaftarkan itu
tergantung pada bentuk perusahaan, seperti ; perseroan terbatas, koperasi,
persekutuan atau perseorangan. Perbedaan itu terbawa oleh perbedaan bentuk
perusahaan.
Bapak H.M.N. Purwosutjipto, S.H memberi contoh apa saja yang yang wajib didaftarkan bagi suatu perusahaan berbentuk perseroan terbatas sebagai berikut :
Bapak H.M.N. Purwosutjipto, S.H memberi contoh apa saja yang yang wajib didaftarkan bagi suatu perusahaan berbentuk perseroan terbatas sebagai berikut :
A. Umum
- nama perseroan
- merek perusahaan
- tanggal pendirian perusahaan
- jangka waktu berdirinya perusahaan
- kegiatan pokok dan kegiatan lain dari kegiatan usaha perseroan
- izin-izin usaha yang dimiliki
- alamat perusahaan pada waktu didirikan dan perubahan selanjutnya
- alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, agen serta perwakilan perseroan.
B. Mengenai Pengurus dan Komisaris
- nama lengkap dengan alias-aliasnya
- setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan nama sekarang
- nomor dan tanggal tanda bukti diri
- alamat tempat tinggal yang tetap
- alamat dan tempat tinggal yang tetap, apabila tidak bertempat tinggal Indonesia
- Tempat dan tanggal lahir
- negara tempat tanggal lahir, bila dilahirkan di luar wilayah negara RI
- kewarganegaran pada saat pendaftaran
- setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan yang sekarang
- tanda tangan
- tanggal mulai menduduki jabatan
C.
Kegiatan Usaha Lain-lain Oleh Setiap Pengurus dan Komisaris
- modal dasar
- banyaknya dan nilai nominal masing-masing saham
- besarnya modal yang ditempatkan
- besarnya modal yang disetor
- tanggal dimulainya kegiatan usaha
- tanggal dan nomor pengesahan badan hukum
- tanggal pengajuan permintaan pendaftaran
D.
Mengenai Setiap Pemegang Saham
- nama lengkap dan alias-aliasnya
- setiap namanya dulu bila berlainan dengan yang sekarang
- nomor dan tanggal tanda bukti diri
- alamat tempat tinggal yang tetap
- alamat dan negara tempat tinggal yang tetap bila tidak bertempat tinggal di Indonesia
- tempat dan tanggal lahir
- negara tempat lahir, jika dilahirkan di luar wilayah negara R.I
- Kewarganegaraan
- jumlah saham yang dimiliki
- jumlah uang yang disetorkan atas tiap saham.
E.
Akta Pendirian Perseroan
Pada waktu mendaftarkan, pengurus
wajib menyerahkan salinan resmi akta pendirian perseroan.
REFERENSI:
BAB 11
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
1. PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak
Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan
dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “intelektual” tercermin
bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau
produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
2. PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip – prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
a. Prinsip Ekonomi.
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
b. Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
c. Prinsip Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia
d. Prinsip Sosial.
Prinsip sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
3. KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta
( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
- Paten
- Merek
- Varietas tanaman
- Rahasia dagang
- Desain industry
- Desain tata letak sirkuit terpadu
1. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2. UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
3. UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
4. UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
5. HAK CIPTA
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
a. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
b. UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
c. UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
d. UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
6. HAK PATEN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
a. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
b. Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
c. Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
d. Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil produksi;
- penyempurnaan dan pengembangan proses;
- penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi
a. UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
b. UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
c. UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
7. HAK MERK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Istilah – Istilah Merk :
1. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
2. Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
3. Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
4. Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar Hukum HAK MERK :
a. UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
b. UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
c. UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
8. DESAIN INDUSTRI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
9. RAHASIA DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
BAB 12
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen
Adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
2. Azas dan Tujuan
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
3.Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen adalah :
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha :
a. hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa
yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun
sengketa konsumen.
kewajiban pelaku usaha :
d. bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
e. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan
pemeliharaan.
f. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan
pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada
konsumen.
5. Perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha
Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku
Usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1. Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a.Tidak sesuai dengan :
- standar yang dipersyaratkan;
- peraturan yang berlaku;
- ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
- standar yang dipersyaratkan;
- peraturan yang berlaku;
- ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b.Tidak sesuai dengan pernyataan
dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang
menyangkut :
- berat bersih;
- isi bersih dan jumlah dalam hitungan
- berat bersih;
- isi bersih dan jumlah dalam hitungan
2. Dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
a.Secara tidak benar dan/atau
seolah-olah barang tersebut :
- Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
- Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
- Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
- Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b.Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
- Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
- Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
- Telah tersedia bagi konsumen.
- Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
- Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
- Telah tersedia bagi konsumen.
c.Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
d.Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
e.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
6. Klausula Baku dalam Perjanjian
Di dalam pasal 18 undang-undang
nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku
pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1. menyatakan pengalihan tanggungn
jawab pelaku usaha .
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
7. Tanggung Jawab Pelaku Konsumen
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal
28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal
yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti
seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
8. Sanksi Perlindungan Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega dengan
lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut :
1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut (pasal 8 ayat 1), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa (pasal 8 ayat 1), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar (pasal 8 ayat 2), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian.
(pasal 18 ayat 1 huruf b)
2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
BAB 13
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
1. Pengertian
Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi
arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli).
2. Azas dan Tujuan
a. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
b. Mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
c. Mencegah praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Terciptanya efektifitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha.
3. Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut
pasal 33 ayat 2.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 ” Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi,
kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
4. Perjanjian yang Dilarang
1. Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
2. Perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama
3. Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
4. Perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
5. Hal- hal yang dikecualikan
dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan, yaitu :
Pasal 50
- perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
- perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
- perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
- perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
- perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
- perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
- pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
- kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan
dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat
hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
6. Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat
Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
7. Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU
adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan
mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk
dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli.
Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti
Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai
pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
BAB 14
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
1. PENGERTIAN
SENGKETA
Sengketa
tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik.
Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan
bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan.
Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita
menyikapinya. Dengan cara lapangkah, atau bahkan cara yang kasar dan merugikan
orang lain. Tentu kita harus profesional menyikapi semua ini demi kelangsungan
hidup yang harmonis tentram dan nyaman, dan tentu tidak untuk merugikan orang
lain. Kenapa kita harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui
lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya. Berikut
adalah pengertian dari sengketa itu sendiri, menurut kamus bahasa indonesia dan
menurut Ali Achmad.
Berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
·
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
Dari
kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara
dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek
tertentu, hal ini terjadi dikarenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat
atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya. Jelas kita ketahui bahwa suatu sengketa tentu subjeknya tidak hanya
satu, namun lebih dari satu, entah itu antar individu, kelompok, organisasi
bahkan lembaga besar sekalipun. Objek dari suatu sengketa sendiri cukup
beragam. Misalnya saja rumah, hak milik rumah atau tanah, tanah, uang, warisan,
bahkan bisa objek ini adalah hak asuh anak. Kenapa bisa terjadi demikian? Tentu
karena adanya kesalahpahaman, atau bahkan karena adanya unsur ingin memiliki
meski pihak tersebut mengetahui kalau itu bukan miliknya. Hal inilah yang
paling sering kita temui dimana menjadi penyebab suatu konflik. Semoga kita
sadar dan peka untuk melihat kebenaran dan kita bisa melangkah ke jalan
kebenaran, karena hidup ini akan indah dengan jalan kebenaran.
2. Cara
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Hukum
internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara.
Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian
Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18
Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3). Berikut Cara
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, antara lain :
1 1. Negosiasi
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh umat manusia. 40 Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara
yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi
ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan utamanya
adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian
sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau
konsensus para pihak.
2 2.
Pencarian Fakta
Suatu
sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu fakta.
Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun acapkali
permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang
menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian karenanya
bergantung kepada penguraian fakta-fakta yang para pihak tidak sepakati. Oleh
sebab itu dengan memastikan kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai
bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Dengan demikian para pihak
dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui suatu
Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta yang menimbulkan persengketaan.
3 3. Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa
baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak
ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya
dengan negosiasi. Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para
pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan
bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa
dapat dua macam: atas permintaan para pihak atau atas inisiatifnya menawarkan
jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara ini, syarat
mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak
4 4. Mediasi
Mediasi
adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa negara, organisasi
internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau
ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan
kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan
memberikan saran penyelesaian sengketa.
5 5. Konsiliasi
Konsiliasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi.
Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh
suatu komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi tersebut bisa
yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan
persyaratanpersyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun
putusannya tidaklah mengikat para pihak
6 6. Arbitrase
Arbitrase
adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral
serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase
dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan
sengketasengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase
dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul
arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause
compromissoire). Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase
internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang
dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus
terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah
merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam
batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa.
Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1).
Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2).
Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara
esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para
pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang
arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para
pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan
oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain. Pengadilan
arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk
atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang
telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi)
yang memuat:
1.
persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2.
metode pemilihan panel arbitrase;
3.
waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4.
batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5.
prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu
kesepakatan.
3. Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrasi dan Ligitasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
b. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2.
Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang
dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa
salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di
bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang
mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus
belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3.
Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final
dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase
tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat
dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya
bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut
dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari
arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
REFERENSI:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
REFERENSI:
http://jaggerjaques.blogspot.com/2011/05/perbandingan-antara-perundingan.html